Makayoa & “Mafato” yang Retak

Bagikan :

TERPOPULER

Ombudsman Maluku Utara Terima Ratusan Laporan...

Ternate - Ombudsman Perwakilan Maluku Utara (Malut) menerima 170 laporan sepanjang Januari 2025 s/d Mei 2025. Ada dua kategori laporan yang di terima yaitu,...

BACA JUGA

Wacana pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) Makayoa Kepulauan mengemuka sebagai jalan strategis memutus kesenjangan dan mempercepat pembangunan kawasan gugus pulau di bagian barat Halmahera Selatan. Namun seperti setiap gagasan besar lainnya, langkah ini tak luput dari kritik. Beberapa tokoh muda bahkan mantan anggota DPRD Halsel asal Makayoa menyatakan penolakan terbuka, mempertanyakan kesiapan, arah perjuangan, hingga risiko menimbulkan fragmentasi atau sekat-sekat sosial.

Di tengah perdebatan itu, muncul sebuah metafora tajam dari Safrin H. Armaiyn. Lelaki yang biasa disapa Phafv Dhude ini adalah birokrat senior Makayoa yang selama ini aktif menyuarakan pentingnya Makayoa menulis sejarahnya sendiri. Dalam ungkapan reflektifnya, ia menyatakan:

> “Makayoa itu seperti mafato dalam kebun Maluku Utara. Jika mafato sudah retak dan rapuh, maka pedang bisa terlepas, tangan bisa luka, dan kerja di kebun tidak akan membuahkan hasil yang baik. Belah kelapa pun pedang bisa melayang, bahkan mencelakai diri sendiri. Maka perbaikilah mafato itu dulu, supaya hasil olah kebun maksimal.”

Mafato, dalam tradisi kita, adalah gagang pedang atau penyangga utama alat perjuangan. Jika mafato retak, maka pedang (alat atau instrumen perjuangan) menjadi berbahaya, tidak terkendali, bahkan bisa menyakiti kita sendiri. Metafora ini menjadi tamparan halus bagi masyarakat Makayoa yang kini tengah terbelah antara yang ingin maju dan yang masih ragu.

Penolakan terhadap DOB Makayoa Kepulauan memang bukanlah nista atau dosa. Ia adalah ungkapan kegelisahan yang wajar dalam proses perubahan. Namun yang patut disayangkan adalah ketika kritik justru menjelma menjadi kemacetan gagasan, ketidakpercayaan kolektif, dan hilangnya keberanian untuk membayangkan masa depan yang lebih baik. Phafv Dhude melanjutkan refleksinya:

> “Kita tidak bisa terus menggantungkan nasib rakyat Makayoa kepada dahan yang kering dan rapuh. Kita tidak bisa berteduh di bawah pohon yang tak lagi berbuah. Kita harus berani menanam pohon baru, yang akarnya kuat dan buahnya bisa dinikmati generasi ke depan.”

DOB Makayoa Kepulauan bukan hanya tentang pemekaran wilayah. Ia adalah simbol pembaruan struktur, penataan ulang distribusi keadilan, serta ikhtiar membangun mafato baru-sebuah pegangan bersama yang kokoh, tempat ditancapkannya pedang perjuangan yang tidak hanya tajam tetapi juga terkendali.

Komentar bijak juga datang dari Nas Ula, salah satu anak muda Makayoa, yang menyarankan agar proses ini tidak terjebak dalam debat kusir, melainkan dibawa pada ruang dialog dan penguatan data:

> “Coba Ketua luangkan waktu, la silaturahmi deng Ko Muhammad A. Adam, la bacarita dulu. Karena beliau itu waktu itu masuk tim pemekaran bersama Almarhum Iqbal Djoge. Beliau lebih paham dan tau. Supaya tong siapkan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan persyaratan DOB.”

Pernyataan ini adalah sinyal penting bahwa membangun mafato baru bukan hanya soal semangat, tapi juga ketepatan langkah, komitmen, dan penghormatan terhadap pengalaman, serta kerja kolektif yang tertata. Proses menuju DOB harus dibarengi dokumentasi yang lengkap, kesiapan instrumen, legalitas yang kuat, dan strategi komunikasi yang matang, bukan hanya pada pemerintah pusat, tetapi juga kepada masyarakat MAKAYOA sendiri.

Sejarah, sebagaimana dikatakan, bukan hanya milik masa lalu. Ia adalah milik mereka yang berani menulis babak baru. Kita tidak harus terus terjebak dalam glorifikasi struktur lama yang kini hanya menjadi sisa monarki tanpa daya politik dan ekonomi. Justru saat inilah momentum Makayoa menuliskan sejarahnya sendiri—bukan dalam satu versi tunggal, tetapi dalam keberagaman tafsir yang saling menguatkan.

Tentu, memperkuat mafato bukan perkara mudah. Ia menuntut konsolidasi, konsistensi-kesabaran, dan kesiapan institusional. Tapi jauh lebih berbahaya jika kita membiarkan mafato tetap retak, lalu berharap bisa membersihkan kebun dengan hasil yang baik. Seperti halnya berkebun dan memancing, hanya alat yang baik dan pegangan yang kuat yang dapat menghasikan hasil-panen yang berkualitas.

Berhentilah berdebat tentang bentuk pedang, dan mulailah memperkuat mafato kita bersama.
Makayoa membutuhkan mafato baru. Kebersamaan, visi bersama, dan keberanian tuk menulis sejarah sendiri.
Jangan biarkan pedang perubahan kehilangan arah hanya karena kita takut mengganti gagang lama.

BERITA DAERAH

LIHAT SEMUA

Minim Perhatian, Ini Kondisi Salah Satu...

Labuha - Jauh dari kemewahan dan gemerlapnya suasana kota serta minim perhatian dari pemerintah, baik itu pemerintah Pusat maupun Daerah, beginilah kondisi jembatan darat...

Pemdes Guruapin Kayoa Salurkan Insentif Selama...

Halsel - Pemerintah Desa Guruapin, Kecamatan Kayoa, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel) telah menyalurkan insentif Tahap I yakni Januari hingga Juni tahun 2025. Penyaluran insentif kepada...

Persoalan APMS Kayoa Utara, Warga dan...

Labuha - Persoalan pemalangan pintu masuk Agen Penyalur Minyak dan Solar (APMS) di Desa Laromabati, Kecamatan Kayoa Utara, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), berujung damai...

SAAT INI

Polres Ternate Ungkap Kasus Narkotika Jenis Ganja, Satu Tersangka...

Ternate - Kapolres Ternate AKBP Anita Ratna Yulianto, S.I.K., M.H., melalui Kasi...

BERITA UTAMA

Abdullah W. Jabid Terpilih Sebagai Rektor...

Ternate - Prof. Dr. Abdullah W. Jabid S.E., M.M, terpilih sebagai Rektor Universitas Khairun (Unkahir) Ternate pada periode 2025-2029, dengan memperoleh 53 suara. Melalui hasil...

Minim Perhatian, Ini Kondisi Salah Satu...

Labuha - Jauh dari kemewahan dan gemerlapnya suasana kota serta minim perhatian dari pemerintah, baik itu pemerintah Pusat maupun Daerah, beginilah kondisi jembatan darat...

Kunjungi PKM, Anggota Dewan Kota Ternate...

Ternate - Kunjungi Pedagang Kelapa Muda (PKM), di Kelurahan Mangga Dua, Kecamatan Ternate Selatan, Kota Ternate, tepatnya di pesisir pantai seputaran pelabuhan Semut, anggota...

REKOMENDASI

Gugus Makayoa & Kesadaran Geografis

“Laut bukan batas, tetapi jembatan peradaban.” – Ki Hajar Dewantara Usulan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) Kabupaten Gugus Pulau Makayoa bukan sekadar pemekaran wilayah administratif....

Kabulog Ternate Tegaskan Para Mitra Agar...

Ternate - Kepala Cabang Bulog Ternate, Zadrach Evert Pattiwael, tegaskan kepada toko-toko atau mitra Perum Bulog Cabang Ternate, Maluku Utara (Malut), agar tak bermain...

Dinkop dan UKM Ternate Akan Bentuk...

Ternate - Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Kota Ternate akan membentuk koperasi ojek pangkalan. Kepada media ini, Rabu (31/05), Kepala Dinas Koperasi dan...

Kadis Pangan Kota Ternate Hadiri Panen...

Ternate -- Kepala Dinas Pangan Kota Ternate menghadiri panen jagung di Kelurahan Moya, Kecamatan Ternate Tengah, Kota Ternate, yang dilaksanakan oleh Kelompok Tani Moya...

IKLAN

Makayoa & “Mafato” yang Retak

Wacana pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) Makayoa Kepulauan mengemuka sebagai jalan strategis memutus kesenjangan dan mempercepat pembangunan kawasan gugus pulau di bagian barat Halmahera Selatan. Namun seperti setiap gagasan besar lainnya, langkah ini tak luput dari kritik. Beberapa tokoh muda bahkan mantan anggota DPRD Halsel asal Makayoa menyatakan penolakan terbuka, mempertanyakan kesiapan, arah perjuangan, hingga risiko menimbulkan fragmentasi atau sekat-sekat sosial.

Di tengah perdebatan itu, muncul sebuah metafora tajam dari Safrin H. Armaiyn. Lelaki yang biasa disapa Phafv Dhude ini adalah birokrat senior Makayoa yang selama ini aktif menyuarakan pentingnya Makayoa menulis sejarahnya sendiri. Dalam ungkapan reflektifnya, ia menyatakan:

> “Makayoa itu seperti mafato dalam kebun Maluku Utara. Jika mafato sudah retak dan rapuh, maka pedang bisa terlepas, tangan bisa luka, dan kerja di kebun tidak akan membuahkan hasil yang baik. Belah kelapa pun pedang bisa melayang, bahkan mencelakai diri sendiri. Maka perbaikilah mafato itu dulu, supaya hasil olah kebun maksimal.”

Mafato, dalam tradisi kita, adalah gagang pedang atau penyangga utama alat perjuangan. Jika mafato retak, maka pedang (alat atau instrumen perjuangan) menjadi berbahaya, tidak terkendali, bahkan bisa menyakiti kita sendiri. Metafora ini menjadi tamparan halus bagi masyarakat Makayoa yang kini tengah terbelah antara yang ingin maju dan yang masih ragu.

Penolakan terhadap DOB Makayoa Kepulauan memang bukanlah nista atau dosa. Ia adalah ungkapan kegelisahan yang wajar dalam proses perubahan. Namun yang patut disayangkan adalah ketika kritik justru menjelma menjadi kemacetan gagasan, ketidakpercayaan kolektif, dan hilangnya keberanian untuk membayangkan masa depan yang lebih baik. Phafv Dhude melanjutkan refleksinya:

> “Kita tidak bisa terus menggantungkan nasib rakyat Makayoa kepada dahan yang kering dan rapuh. Kita tidak bisa berteduh di bawah pohon yang tak lagi berbuah. Kita harus berani menanam pohon baru, yang akarnya kuat dan buahnya bisa dinikmati generasi ke depan.”

DOB Makayoa Kepulauan bukan hanya tentang pemekaran wilayah. Ia adalah simbol pembaruan struktur, penataan ulang distribusi keadilan, serta ikhtiar membangun mafato baru-sebuah pegangan bersama yang kokoh, tempat ditancapkannya pedang perjuangan yang tidak hanya tajam tetapi juga terkendali.

Komentar bijak juga datang dari Nas Ula, salah satu anak muda Makayoa, yang menyarankan agar proses ini tidak terjebak dalam debat kusir, melainkan dibawa pada ruang dialog dan penguatan data:

> “Coba Ketua luangkan waktu, la silaturahmi deng Ko Muhammad A. Adam, la bacarita dulu. Karena beliau itu waktu itu masuk tim pemekaran bersama Almarhum Iqbal Djoge. Beliau lebih paham dan tau. Supaya tong siapkan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan persyaratan DOB.”

Pernyataan ini adalah sinyal penting bahwa membangun mafato baru bukan hanya soal semangat, tapi juga ketepatan langkah, komitmen, dan penghormatan terhadap pengalaman, serta kerja kolektif yang tertata. Proses menuju DOB harus dibarengi dokumentasi yang lengkap, kesiapan instrumen, legalitas yang kuat, dan strategi komunikasi yang matang, bukan hanya pada pemerintah pusat, tetapi juga kepada masyarakat MAKAYOA sendiri.

Sejarah, sebagaimana dikatakan, bukan hanya milik masa lalu. Ia adalah milik mereka yang berani menulis babak baru. Kita tidak harus terus terjebak dalam glorifikasi struktur lama yang kini hanya menjadi sisa monarki tanpa daya politik dan ekonomi. Justru saat inilah momentum Makayoa menuliskan sejarahnya sendiri—bukan dalam satu versi tunggal, tetapi dalam keberagaman tafsir yang saling menguatkan.

Tentu, memperkuat mafato bukan perkara mudah. Ia menuntut konsolidasi, konsistensi-kesabaran, dan kesiapan institusional. Tapi jauh lebih berbahaya jika kita membiarkan mafato tetap retak, lalu berharap bisa membersihkan kebun dengan hasil yang baik. Seperti halnya berkebun dan memancing, hanya alat yang baik dan pegangan yang kuat yang dapat menghasikan hasil-panen yang berkualitas.

Berhentilah berdebat tentang bentuk pedang, dan mulailah memperkuat mafato kita bersama.
Makayoa membutuhkan mafato baru. Kebersamaan, visi bersama, dan keberanian tuk menulis sejarah sendiri.
Jangan biarkan pedang perubahan kehilangan arah hanya karena kita takut mengganti gagang lama.

Bagikan :

Artikel Terkait

Baca Juga

Iklan

error: Content is protected !!