Kita dan terutama Kota Ternate seolah tak pernah benar-benar lepas dari persoalan sampah. Masalah ini datang berulang, mengendap, dan terus menumpu bukan hanya secara fisik di sudut-sudut kota, tetapi juga dalam kesadaran kolektif kita yang tak kunjung berubah. Di selokan, di pantai, di pasar, bahkan di depan rumah sendiri, sampah telah menjadi pemandangan yang biasa.
Yang paling mencolok adalah dominasi sampah plastik. Ringan, tapi menjajah hampir seluruh ruang hidup kita, dari kantong kresek belanja, bungkus makanan, hingga botol air mineral. Ironisnya, bahkan sampah organik pun kini hampir selalu dibungkus dalam kantong plastik sebelum dibuang. Akibatnya, limbah yang sejatinya dapat terurai justru menjadi bagian dari tumpukan sampah anorganik yang mencemari lingkungan.
Persoalan ini bukan semata soal kurangnya armada pengangkut atau buruknya kondisi TPA Buku Deru-Deru. Akar masalahnya jauh lebih dalam: krisis kesadaran dan kebiasaan kita sendiri. Kita terbiasa membuang tanpa memilah, dan terlalu sering menganggap bahwa urusan sampah sepenuhnya adalah tanggung jawab pemerintah.
Padahal, upaya mitigasi tak cukup jika hanya mengandalkan kecanggihan teknologi atau kebijakan yang parsial. Yang lebih mendasar dan mendesak adalah membangun kesadaran kolektif, serta mentransformasi cara pandang kita terhadap alam dan lingkungan.
Namun, kesadaran masyarakat saja tidak cukup. Manajemen petugas kebersihan juga perlu dibenahi secara serius. Mereka adalah garda terdepan dalam pengelolaan sampah, tetapi kerap bekerja tanpa perlindungan memadai, alat kerja yang layak, atau pelatihan teknis yang memadai. Pemerintah kota harus memberi perhatian pada kesehatan mereka, kelengkapan instrumen kerja, dan memastikan adanya etika serta standar operasional yang profesional.
Kondisi makin rumit karena banyak kelurahan di Ternate tidak memiliki Tempat Pembuangan Sementara (TPS) akibat keterbatasan ruang. Di sisi lain, keterlambatan petugas pengangkut dalam mengosongkan TPS yang tersedia sering menimbulkan penumpukan dan bau tak sedap. Akibatnya, warga kadang membongkar TPS secara sepihak, dan tak jarang menjadikan ruas-ruas jembatan sebagai lokasi pembuangan alternatif—terutama untuk sampah plastik. Praktik ini tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga mencoreng wajah kota.
Solusi jangka panjang harus dimulai dari pendidikan lingkungan. Ini harus ditanamkan sejak dini di rumah sebagai sekolah pertama, dan di sekolah sebagai bagian integral dari kurikulum formal. Anak-anak perlu diajarkan bahwa membuang sampah sembarangan bukan sekadar kebiasaan buruk, tetapi tindakan yang merusak masa depan mereka sendiri.
Namun pendidikan saja tak cukup. Diperlukan keteladanan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Membawa botol minum sendiri, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, memilah dan mendaur ulang sampah, semua ini harus menjadi kebiasaan baru, budaya baru, yang tumbuh dari kesadaran, bukan keterpaksaan.
Wali Kota boleh menambah ekskavator dan truk sampah, tetapi tanpa perubahan pola pikir masyarakat dan tanpa pembenahan sistem kerja petugas lapangan, kota ini akan tetap bergelut dengan sampah.
Ternate tidak butuh banyak teori. Yang dibutuhkan adalah kesadaran, keteladanan, dan aksi nyata. Karena kota ini milik kita semua dan kebersihannya adalah cermin dari siapa kita. Sebagai wajah warga kota Ternate dan masyarakat Maluku Utara pada umunya.