Pernyataan Gubernur Maluku Utara, Sherly Laos, dalam forum konsultasi publik rancangan RPJMD 2025–2029 patut dicatat sebagai titik balik penting dalam sejarah pembangunan daerah kepulauan ini. Dalam pidatonya, Gubernur menyampaikan : “Kita harus mengakhiri pembangunan yang hanya tersentral di satu titik. Saatnya Maluku Utara membangun dengan adil, dari pulau ke pulau, dari laut ke darat, dari nelayan ke pasar.”
Pernyataan ini bukan basa-basi politik. Ia mencerminkan kesadaran atas realitas ketimpangan pembangunan yang telah berlangsung lama di Maluku Utara. Provinsi dengan lebih dari 800 pulau namun selama dua dekade terjebak dalam model pembangunan yang tersentral di daratan (menjauhkan pulau-pulau kecil dari pusat perhatian pembangunan) dan elitis dalam perencanaan.
Luka Historis
Sejak pemekaran dari Provinsi Maluku pada 1999, pembangunan Maluku Utara kerap terfokus pada simpul daratan, terutama Ternate dan sebagian wilayah Halmahera. Padahal, sebagian besar masyarakat hidup dan menggantungkan diri pada ruang maritim-pesisir: sebagai nelayan, petani lahan terbatas, pedagang antarpulau, dan pelaku pariwisata bahari.
Dominasi logika administratif dalam pembangunan telah mengorbankan ekosistem pulau sebagai satuan hidup. Ketimpangan spasial menjadi nyata. Banyak pulau kecil tertinggal dalam akses pendidikan, infrastruktur dasar, hingga layanan kesehatan. Sementara sektor ekstraktif seperti tambang terus mendapat tempat utama, mengorbankan penguatan ekonomi rakyat yang justru menopang keberlanjutan hidup pulau: perikanan, pertanian lokal, dan UMKM pesisir.
Dering di Batang Dua
Arah baru mulai terlihat, meski masih dalam tahap awal. Salah satu contohnya adalah pembangunan jaringan internet di Pulau Batang Dua, kecamatan kepulauan terluar Kota Ternate. Selama bertahun-tahun, wilayah ini nyaris tak tersentuh layanan digital.
Kini, anak-anak di Batang Dua bisa belajar daring tanpa harus memanjat bukit mencari sinyal. UMKM mulai menjangkau pasar digital. Pemerintahan desa melayani warganya lebih efisien. Ini bukan sekadar cerita infrastruktur, melainkan simbol kehadiran negara di titik-titik paling jauh yang selama ini luput dari radar birokrasi.
Langkah kecil ini memberi isyarat besar jika pembangunan benar-benar dimulai dari kebutuhan masyarakat pulau, maka perubahan bukanlah hal mustahil.
Tantangan Membangun dari Pulau
Arah pembangunan Maluku Utara mulai bergeser dan memberi harapan baru. Tapi jalan ke sana tidak mudah. Untuk benar-benar membangun dari pulau, kita perlu keberanian membalik arus prioritas.
Pertama, pembenahan tata kelola anggaran menjadi kunci. Selama ini, dana pembangunan masih menumpuk di ibu kota kabupaten/kota. Padahal, distribusi fiskal seharusnya mempertimbangkan luas laut, keterpencilan, dan sebaran penduduk di pulau-pulau kecil—bukan sekadar parameter administratif. Kedua, konektivitas antarpulau masih menjadi masalah mendasar. Tanpa sistem transportasi laut yang murah, aman, dan terjadwal, ongkos logistik tetap mahal, pasar sulit dijangkau, dan mobilitas warga terhambat. Pemerataan akan tetap jadi wacana tanpa sarana. Ketiga, ekonomi masyarakat pulau masih rapuh. Perikanan skala kecil, pertanian lahan terbatas, dan pariwisata bahari belum mendapat perlindungan kebijakan yang kuat. Padahal, tiga sektor ini bisa menjadi pilar ekonomi lokal jika didukung oleh investasi publik yang berpihak. Keempat, kelembagaan ekonomi rakyat belum tumbuh sehat. Tanpa koperasi nelayan yang kuat, BUMDes maritim yang produktif, dan layanan digital yang memadai, masyarakat pulau akan terus menjadi penyedia bahan mentah murah dan bukan aktor utama dalam rantai nilai. Kelima, minimnya data spasial dan sosial yang akurat masih menjadi masalah klasik. Tanpa peta kerentanan dan potensi yang terintegrasi dalam sistem perencanaan, arah pembangunan akan terus bergantung pada asumsi dari atas, bukan realitas lapangan.
Imajinasi Kolektif 2030
Kita perlu berani membayangkan Maluku Utara 2030 sebagai provinsi yang lebih adil dan merata. Di mana pulau-pulau kecil tidak lagi tertinggal, melainkan tumbuh menjadi pusat inisiatif lokal. Bayangkan Pulau Kasiruta dan Moari, petani cengkih dan pala tak lagi menunggu tengkulak karena BUMDes mereka terhubung langsung ke pasar ekspor. Pulau Gebe dan Guraici menjadi destinasi ekowisata berbasis komunitas. Di Talabu dan Batang Lomang, ibu-ibu pengolah hasil laut menjual produk mereka hingga ke Jakarta lewat koperasi digital. Dan di Batang Dua, anak-anak mengikuti kelas daring dengan koneksi stabil, dibimbing oleh guru-guru lokal yang terlatih secara digital.
Semua ini bukan utopia. Ia mungkin terwujud, asalkan visi “dari suara rakyat” dan prinsip “dari pulau ke pulau, dari laut ke darat” tidak berhenti di panggung pidato. Ia harus diterjemahkan dalam kebijakan nyata dan anggaran yang berpihak.
RPJMD, Jalan Pulang ke Pulau
RPJMD 2025–2029 karena itu perlu dimaknai bukan semata sebagai dokumen teknokratik, melainkan sebagai jalan pulang ke masyarakat pulau. Sebuah koreksi historis atas pembangunan yang terlalu lama berpijak di daratan dan birokrasi. Jalan pulang ini menempatkan laut bukan sebagai batas, tetapi sebagai penghubung kehidupan: simpul-simpul budaya, solidaritas, dan ekonomi yang saling terjalin di gugusan pulau-pulau kecil.
Ketika Gubernur mengatakan bahwa RPJMD ini “lahir dari suara rakyat”, publik punya hak dan tanggung jawab untuk mengawalnya. Sebab membangun dari pulau bukan sekadar janji politik. Ia menuntut keberanian untuk mengubah logika pembangunan itu sendiri. Tanpa itu, pulau-pulau kecil akan terus jadi catatan kaki dalam narasi pembangunan Maluku Utara.
Sebagai provinsi kepulauan, Maluku Utara tidak bisa dibangun dengan cara daratan. Ia harus berpijak pada realitas sosial, ekologis, dan ekonomi masyarakat pulau. Di sinilah letak tugas besar kita: menjadikan pulau-pulau kecil bukan sebagai beban logistik, melainkan simpul masa depan. Tempat harapan disusun ulang, dan kehidupan diberi kesempatan yang setara.
Sebab masa depan itu, sekali lagi, bernama pulau-pulau kecil.