Kita tentu sudah akrab dengan istilah “aktivis mahasiswa” sebagai sosok yang lantang bersuara di jalanan, dengan kepalan tangan kiri menjulang tinggi, jadi simbol perlawanan dan harapan.
Namun di balik label itu, perjuangan aktivis mahasiswa bukan hanya soal slogan atau demonstrasi. Ia bergerak bukan lantaran disukai, melainkan karena cinta—cinta yang luas, dalam, dan menyakitkan kepada rakyat yang diperjuangkannya.
Menjadi aktivis berarti menjadikan ideologi sebagai bahan bakar, menjadikan politik sebagai ruang paham, strategi sebagai jalan usaha, dan taktik sebagai benteng pergerakan. Semua ini dirangkum dalam satu istilah: ideopolstratak (ideologi, politik, strategi, dan taktik). Inilah kompas perjuangan aktivis mahasiswa.
Bagi mereka, perjuangan dan cinta adalah kata kerja. Kekuasaan adalah objek kritik, dan rakyat adalah nama yang selalu dielu-elukan dalam tiap langkah dan keputusan.
Mahasiswa bergerak tanpa beban kekuasaan. Sejak pertama kali melangkah ke kampus dan menyandang gelar “mahasiswa,” mereka telah bersumpah untuk melawan penindasan, menjunjung bahasa kejujuran, dan merawat harapan bangsa akan keadilan. Bahkan sebelum mengenal jadwal mata kuliah, mereka telah memilih berada di barisan terdepan membela kebenaran.
Bagi aktivis, pergerakan adalah dunia, dan kebebasan rakyat adalah sumber kebahagiaan. Maka tak heran jika banyak dari mereka gagal menjalin cinta di masa muda bukan karena tak setia, tetapi karena waktu mereka habis untuk perjuangan.
Bagi pasangan yang tak terbiasa dengan hidup dalam ketidakpastian dan idealisme tinggi, mencintai aktivis bisa terasa seperti mencintai badai: indah, tapi melelahkan.
Namun, bukan berarti tak ada harapan. Di luar sana, masih ada perempuan tangguh yang memahami makna perjuangan. Yang tahu bahwa diamnya bukan tanda acuh, tapi lelah. Yang mengerti bahwa keberadaannya bukan untuk dimanjakan, tapi didukung. Jika ada cinta seperti itu, mungkin ia akan bertahan.
Di setiap perjuangan, aktivis selalu mencari solusi terbaik. Baginya, jalan buntu bukan akhir, hanya peluang untuk menyelinap, mengelak, atau meretas jalan baru. Mundur? Itu pantangan paling fatal dalam hidupnya.
Beruntunglah mereka yang bisa dekat dengan aktivis mahasiswa, baik sebagai sahabat, rekan, atau kekasih. Sebab di dalam diri mereka, cinta dan perjuangan menyatu menjadi kekuatan. Baik dalam aksi demonstrasi maupun dalam meja-meja diplomasi, semua dijalankan atas dasar cinta. Karena dari sanalah muncul keteguhan untuk tidak menyerah dan terus melangkah.
Cinta juga mengajarkan aktivis tentang keikhlasan yang manusiawi: bergerak karena panggilan nurani, bukan karena tekanan atau paksaan. Ia bertindak atas nama kemerdekaan, bukan kepentingan pribadi.
Dan meskipun takdir seringkali tak berpihak, semangat juang tetap dinyalakan. Sebab mereka percaya bahwa setiap kebaikan, cepat atau lambat, akan membuahkan hasil. Itulah hakikat perjuangan.
Kita pun masih mengingat pesan Bung Karno: “Gantungkan cita-citamu setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.” Inilah optimisme yang selalu dibawa oleh aktivis mahasiswa.
Karena sejatinya, mereka bukan pecundang. Mereka adalah manusia dengan mental pejuang, yang meyakini bahwa setiap langkah menuju perubahan pasti punya tujuan.
Di balik cinta seorang aktivis mahasiswa, tersimpan cita untuk membebaskan masyarakat dari keterpurukan dan penindasan. Dan itu adalah misi hidupnya yang tak akan pernah dia lelah perjuangkan. (-).