Penutupan tambang emas ilegal di sejumlah wilayah Maluku Utara oleh Polda Maluku Utara, termasuk di Roko, Kusubibi, dan Pulau Obi, layak diapresiasi.
Delapan orang saksi diperiksa, puluhan aparat dikerahkan. Dalihnya satu, melindungi keselamatan publik dan lingkungan.
Namun, pertanyaan mendasarnya adalah mengapa ketegasan seperti ini tidak berlaku terhadap tambang industri skala besar yang jejak ekologisnya jauh lebih mengerikan?
Di berbagai wilayah Maluku Utara seperti di Obi, Patani, Weda, hingga Buli. hutan dibabat habis, laut tercemar limbah tailing, air sungai yang jernih berubah warnah coklat kemerahan menuju perairan teluk setiap hari, kampung kehilangan sumber air, dan masyarakat adat terusir dari ruang hidupnya.
Semua itu terjadi dalam bingkai legalitas dan atas nama “investasi nasional”. Tak ada penggerebekan. Tak ada yang namanya penertiban, apalagi sampai penutupan paksa.
Tak ada korporasi yang benar-benar dihentikan karena mencemari dan merusak lingkungan.
Inilah wajah standar ganda penegakan hukum lingkungan kita di Negara ini.
Henri Subagiyo, mantan Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menyebut bahwa tambang rakyat kerap dijadikan kambing hitam kerusakan lingkungan, padahal pelaku utamanya adalah korporasi besar yang merusak dalam skala luas.
“Tambang rakyat adalah akibat, bukan sebab. Negara harus menata, bukan menindas,” tegasnya.
Memang, tambang rakyat tidak memiliki izin, menggunakan merkuri, dan beroperasi di luar sistem formal.
Namun, mereka menambang bukan untuk menghitung pendapatan, apalagi mengakumulasi keuntungan.
Mereka menambang hanya demi bertahan hidup. Mereka muncul karena negara gagal menyediakan pekerjaan layak, gagal membuka akses legal bagi pertambangan skala kecil yang ramah lingkungan, dan gagal menjadikan rakyat sebagai subjek pembangunan.
Prof. Emil Salim, ekonom lingkungan, mengingatkan bahwa keadilan ekologi tidak dapat dipisahkan dari keadilan sosial.
Lingkungan rusak bukan karena rakyat kecil, melainkan karena sistem yang memberi izin kepada industri besar tanpa memperhitungkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Menutup tambang rakyat tanpa menawarkan alternatif penghidupan bukanlah perlindungan lingkungan. Itu adalah pengusiran ekonomi.
Sebaliknya, industri besar justru mendapat kemudahan luar biasa, konsesi lahan luas, insentif fiskal, dan pembiaran terhadap berbagai bentuk perusakan lingkungan.
Hingga kini, belum pernah ada satu pun tambang industri besar di Maluku Utara yang ditutup permanen karena mencemari lingkungan.
Jika negara sungguh ingin menegakkan keadilan lingkungan, maka penertiban tambang ilegal harus berlaku setara, menyasar para perusak lingkungan bermodal besar, bukan hanya mempidanakan rakyat kecil sambil membiarkan kejahatan korporasi terus berlangsung.
Muhammad Ichsan, pakar hukum lingkungan UGM, menyebut bahwa pendekatan hukum kita masih bias kekuasaan.
Negara masih melihat masyarakat sebagai objek pengawasan, bukan subjek dalam pengelolaan lingkungan.
Keadilan ekologi sejatinya berpihak pada keberlanjutan hidup bersama alam dan manusia. Namun dalam praktiknya, wajah keadilan itu justru tidak mewakili rakyat.
Mereka dihilangkan dari narasi lingkungan, hanya disebut sebagai pelanggar, tanpa pernah dilibatkan sebagai penjaga ruang hidupnya sendiri.
Vandana Shiva, aktivis dan filsuf lingkungan dari India, menyebut model seperti ini sebagai bentuk ekofasisme (pendekatan ekstrim dan otoriter, dengan salah satu cirinya adalah menggunakan narasi lingkungan untuk membenarkan control terhadap entitas tertentu) Dalam Earth Democracy ia menulis, Ketika kebijakan ekologi tidak memberi tempat bagi komunitas lokal untuk menjaga dan mengelola alam mereka sendiri, maka itu bukanlah keadilan, melainkan kolonialisme baru.
Berapa banyak luka harus ditambang sebelum negara berhenti menyebut rakyatnya sebagai ancaman?
Berapa banyak air mata harus jatuh di tanah sendiri, sebelum suara-suara kecil dianggap layak didengar?
Berapa lama lagi rakyat harus dicap kriminal hanya karena bertahan hidup di tanah leluhurnya?
Hari ini, di banyak sudut negeri termasuk Maluku Utara, warga yang menggali tanah dengan cangkul dan harapan justru dilabeli ilegal.
Mereka yang mempertahankan ruang hidupnya ditangkap dan diadili. Sementara yang datang membawa alat berat dan perizinan tambal sulam disambut dengan karpet merah.
Hukum terlalu sering tumpul ke atas, tajam ke bawah. Sampai kapan negara berpihak pada korporasi rakus, tapi membungkam suara warga yang menjaga ruang hidupnya?
Pendekatan hukum yang menindas ini tak bisa lagi dipertahankan. Ini bukan soal legalitas semata, Ini soal keadilan, Soal keberpihakan.
Negara harus memilih, terus menjadi alat kekuasaan modal, atau berdiri bersama rakyat sebagai penjaga masa depan.
Jika sungguh ingin perubahan, maka berhentilah mengatur dari balik meja. Mulailah mendengar, Mulailah percaya. Sebab rakyat bukan masalah, Mereka adalah bagian dari solusi.
Dan kepercayaan itu hanya bermakna jika diwujudkan dalam kebijakan nyata. Bukan nanti, tapi sekarang.
Beberapa hal mendesak yang bisa segera dilakukan antara lain:
Legalisasi tambang rakyat berbasis koperasi komunitas, melalui skema Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang benar-benar operasional dan terjangkau.
Pendampingan teknologi tambang bersih tanpa merkuri, agar aktivitas tetap ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan publik.
Audit menyeluruh terhadap industri pertambangan besar di Maluku Utara, dengan sanksi tegas bagi pelanggar, Tidak boleh ada impunitas.
Keterbukaan dokumen AMDAL dan pelibatan masyarakat dalam seluruh proses perencanaan dan pengambilan keputusan atas wilayah mereka.
Langkah-langkah ini bukan hanya respons atas ketidakadilan hukum, tapi juga bentuk keberanian untuk membangun arah pembangunan yang baru, pembangunan yang berpihak pada kehidupan.
Seperti diingatkan oleh Arturo Escobar, pembangunan yang mengabaikan komunitas lokal adalah “ekonomi kematian”.
Ia menegaskan bahwa masyarakat adat dan rakyat kecil justru memiliki relasi ekologis yang paling mendalam dan karena itu, merekalah seharusnya berada di garis depan perlindungan lingkungan.
Senada dengan itu, Satya Satria dari WALHI menegaskan bahwa keadilan ekologis harus dimaknai sebagai perlindungan terhadap relasi rakyat dan ruang hidupnya, bukan hanya pelestarian yang steril dari kehidupan.
Rakyat bukan hanya perlu dilindungi dari kerusakan lingkungan, mereka adalah penjaga alam itu sendiri.
Oleh karena itu, keadilan lingkungan bukan sekadar menjaga pohon dan sungai, tetapi juga melindungi hak hidup masyarakat yang menggantungkan nasib pada tanah, air, dan udara yang sama.
Keadilan tak boleh hanya dimiliki korporasi, atau dimaknai sebagai proyek elite atas nama kelestarian yang semu.
Masa depan lingkungan yang sejati hanya mungkin tumbuh ketika rakyat ditempatkan sebagai penjaga utama ruang hidupnya, bukan sebagai terdakwa.
Tanpa rakyat, lingkungan hanyalah lanskap sunyi yang dibela tanpa jiwa, dilindungi tanpa kehidupan. ***