Ternate — Praktisi Hukum Kota Ternate, Muhammad Konoras, SH. MH, mengkritisi Surat Edaran (SE) Walikota Ternate, Nomor: 541/7/2022 tentang Pengendalian Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite dan Pertamax pada tingkat pengecer Kios atau Depot di wilayah Kota Ternate.
Muhammad Konoras, kepada media ini Selasa, (17/5), menyampaikan bahwa Surat Edaran Walikota Ternate tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat, karena penjualan BBM secara eceran ini tidak diperbolehkan dalam peraturan perundang-undangan, khususnya undang-undang Migas.
“Ini berdasarkan UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, pada BAB V Kegiatan Usaha Hilir, pasal 23 poin 1-3, pasal 24 poin 1 dan 2, serta pasal 25 poin 1 dan 2, sudah sangat jelas rinciannya terkait izin usaha, yang wajib dimiliki oleh pengusaha Minyak dan Gas Bumi,” beber Ko Ama sapaan akrab Muhammad Konoras.
Olehnya itu SE Walikota Ternate ini, kata Ko Ama, jelas melanggar UU Migas karena secara legalitas penjual BBM eceran di kios atau Depot diwilayah Kota Ternate tidak memiliki izin usaha pengelolaan, izin usaha pengangkutan, izin usaha penyimpanan, dan serta izin usaha niaga, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 23 poin 2 UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas.
Lebih lanjut Ko Ama menjelaskan bahwa sebagai seorang pimpinan, Walikota Ternate Dr. M. Tauhid Soleman, harus mengutamakan tiga asas sebelum mengeluarkan satu kebijakan, yakni yang pertama asas pasti, dimana Walikota harus melaksanakan kepastian dari aturan tesebut, yakni harus melarang sesuai dengan UU yang berlaku, bukan mengiyakan dengan SE Pengendalian harga sementara dalam UU Migas jelas melarang.
“Kemudian yang kedua harus adil, dan yang ketiga harus bermanfaat, jika adil namun tidak bermanfaat bagi orang banyak atau kepentingan umum, untuk apa peraturan atau edaran itu di tegakkan, sebab aturan dibuat untuk kesejahteraan rakyat bukan untuk kepentingan oknum tertentu,” bebernya.
Sambungnya, “jika kita berbicara dari tiga sisi dimaksud yakni, pasti maka walikota harus melarang karena ini melanggar UU, namun walikota mengeluarkan edaran tentang Pengendalian harga maka ini tidak pasti secara hukum karena walikota telah mengabaikan perintah UU”
Menurut Ko Ama, ini juga tidak adil sebab dengan adanya edaran walikota, maka penjual eceran ini telah diberikan kebebasan untuk merampas hak masyarakat terutama pengguna kendaraan roda dua dan roda empat, dimana mereka yang memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan langsung dari SPBU, namun tidak lagi mendapatkan pelayanan yang maksimal karena SPBU lebih mementingkan pelayanan terhadap penjual BBM eceran.
“dan yang ketiga yakni manfaat, dari sisi ini juga menurut Ko Ama tidak bermanfaat jika di tinjau dari sisi ekonomi, karena ini sangat beresiko dalam menimbulkan kecelakaan seperti kebakaran dan lain sebagainya,” terang Ko Ama.
Sehingga ditinjau dari surat edaran tersebut, maka ini sudah jelas bahwa surat edaran walikota ini tidak pasti, tidak adil, dan serta tidak bermanfaat, sebab filosofis lahirnya sebuah ketentuan peraturan itu dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat.
“Jadi edaran walikota ini tidak pasti, tidak adil, dan tidak bermanfaat, karena kalau pasti, adil, dan bermanfaat maka walikota harus melarang kemudian mempertimbangkan dan menginstruksikan kepada pelaku usah depot bahwa tempat jualan mereka harus jauh dari pemukiman warga, demi keamanan warga sekitar sebab resiko kebakaran cukup tinggi jiga berbicara menyangkut usaha BBM,” tukasnya
“Namun beginilah resiko pejabat-pejabat yang lahir pada momen politik, pasti lemah dan lengah terhadap satu kebijakan dengan memperhatikan untuk maju bertarung yang kedua kali,” tutupnya.