back to top

Tren Kekerasan Seksual Meningkat, Komnas Perempuan Soroti Lemahnya Pendokumentasian Kasus

Bagikan :

TERPOPULER

Camat Oba Apresiasi SMA Negeri 4...

BACA JUGA

Ternate – Komnas Perempuan kembali mengingatkan bahwa tren kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dalam dua tahun terakhir menunjukkan peningkatan tajam. Terutama pada kasus kekerasan seksual.

Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor mengungkapkan, lembaganya menerima rata-rata 4.600 pengaduan langsung setiap tahun, angka yang relatif stabil selama satu dekade terakhir. Namun, pola kekerasan mengalami pergeseran signifikan.

“Dua tahun terakhir tren tertinggi adalah kekerasan seksual. Sebelumnya masih didominasi kekerasan psikis, fisik, dan ekonomi. Namun kini kekerasan seksual naik signifikan,” ujar Maria Ulfah dalam konferensi pers di Hotel BatikTernate, Sabtu (6/12/2025).

Dari ribuan laporan itu, hanya sekitar 30 persen yang mampu diproses hingga putusan pengadilan. Rendahnya angka penyelesaian dipengaruhi tekanan terhadap korban, kelelahan menghadapi proses hukum, serta panjangnya birokrasi penyidikan.

Maria menegaskan fenomena delay of justice atau keadilan yang tertunda masih menjadi masalah besar. “Mulai dari laporan di tingkat bawah hingga penyidikan, prosesnya panjang dan melelahkan. Banyak korban akhirnya mundur,” katanya.

Sekretaris Jenderal Komnas Perempuan Dwi Ayu Kartikasari menyoroti lemahnya pendokumentasian kasus di sejumlah daerah, termasuk Maluku Utara. Berdasarkan catatan tahunan (Catahu), pPovinsi Maluku Utara hanya mencatat 1.197 kasus dari total nasional 330.097 kasus, atau sekitar 0,1 persen.

“Angka kecil tidak selalu berarti kasusnya sedikit. Banyak lembaga negara tidak mengembalikan kuesioner yang kami kirim,” tegasnya.

Menurut Dwi Ayu, lembaga layanan masyarakat dan LSM justru lebih aktif mengirimkan data. Sementara institusi strategis seperti kepolisian, rumah sakit, dan sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) kerap tidak merespons.

“Di Maluku Utara, dari lembaga pemerintah, hanya Pengadilan Agama yang rutin memberikan data,” ungkapnya.

Catahu terbaru menunjukan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGtP) terbagi pada tiga ranah: personal, publik/komunitas, dan negara. Ranah personal mendominasi dengan 309.516 kasus, jauh di atas ranah publik 12.004 kasus dan ranah negara 209 kasus.

Tingginya angka personal dipengaruhi data dari Badan Peradilan Agama, yang mengkategorikan perkara perceraian banyak di antaranya mengandung unsur KDRT sebagai ranah personal.

Komnas Perempuan juga mencatat 8.368 kasus yang tidak dapat dikategorikan karena hubungan korban dan pelaku tidak teridentifikasi.

Dwi Ayu menjelaskan tingginya data dari Pengadilan Agama menunjukkan kecenderungan korban lebih memilih jalur perceraian ketimbang melanjutkan proses pidana.

“Proses pembuktian pidana dianggap melelahkan dan berbelit. Banyak korban memilih berpisah daripada meneruskan laporannya,” jelasnya.

Komnas Perempuan menekankan bahwa akurasi data nasional sangat bergantung pada respons lembaga layanan di seluruh provinsi. Minimnya pengiriman data dari institusi negara membuat gambaran kekerasan terhadap perempuan menjadi tidak komprehensif.

“Ini bukan soal angkanya kecil atau besar, tetapi kapasitas pendokumentasian yang masih terbatas. Jika data tidak lengkap, kebijakan tidak akan tepat sasaran,” kata Dwi Ayu.

BERITA DAERAH

LIHAT SEMUA

SAAT INI

Pemerintah Kecamatan Oba Galang Dana Untuk Korban Banjir Aceh...

Aksi penggalangan dana berlangsung sejak pagi dan mendapatkan respons positif dari berbagai pihak.

BERITA UTAMA

REKOMENDASI

IKLAN

Tren Kekerasan Seksual Meningkat, Komnas Perempuan Soroti Lemahnya Pendokumentasian Kasus

Imalut.com

Ternate – Komnas Perempuan kembali mengingatkan bahwa tren kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dalam dua tahun terakhir menunjukkan peningkatan tajam. Terutama pada kasus kekerasan seksual.

Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor mengungkapkan, lembaganya menerima rata-rata 4.600 pengaduan langsung setiap tahun, angka yang relatif stabil selama satu dekade terakhir. Namun, pola kekerasan mengalami pergeseran signifikan.

“Dua tahun terakhir tren tertinggi adalah kekerasan seksual. Sebelumnya masih didominasi kekerasan psikis, fisik, dan ekonomi. Namun kini kekerasan seksual naik signifikan,” ujar Maria Ulfah dalam konferensi pers di Hotel BatikTernate, Sabtu (6/12/2025).

Dari ribuan laporan itu, hanya sekitar 30 persen yang mampu diproses hingga putusan pengadilan. Rendahnya angka penyelesaian dipengaruhi tekanan terhadap korban, kelelahan menghadapi proses hukum, serta panjangnya birokrasi penyidikan.

Maria menegaskan fenomena delay of justice atau keadilan yang tertunda masih menjadi masalah besar. “Mulai dari laporan di tingkat bawah hingga penyidikan, prosesnya panjang dan melelahkan. Banyak korban akhirnya mundur,” katanya.

Sekretaris Jenderal Komnas Perempuan Dwi Ayu Kartikasari menyoroti lemahnya pendokumentasian kasus di sejumlah daerah, termasuk Maluku Utara. Berdasarkan catatan tahunan (Catahu), pPovinsi Maluku Utara hanya mencatat 1.197 kasus dari total nasional 330.097 kasus, atau sekitar 0,1 persen.

“Angka kecil tidak selalu berarti kasusnya sedikit. Banyak lembaga negara tidak mengembalikan kuesioner yang kami kirim,” tegasnya.

Menurut Dwi Ayu, lembaga layanan masyarakat dan LSM justru lebih aktif mengirimkan data. Sementara institusi strategis seperti kepolisian, rumah sakit, dan sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) kerap tidak merespons.

“Di Maluku Utara, dari lembaga pemerintah, hanya Pengadilan Agama yang rutin memberikan data,” ungkapnya.

Catahu terbaru menunjukan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGtP) terbagi pada tiga ranah: personal, publik/komunitas, dan negara. Ranah personal mendominasi dengan 309.516 kasus, jauh di atas ranah publik 12.004 kasus dan ranah negara 209 kasus.

Tingginya angka personal dipengaruhi data dari Badan Peradilan Agama, yang mengkategorikan perkara perceraian banyak di antaranya mengandung unsur KDRT sebagai ranah personal.

Komnas Perempuan juga mencatat 8.368 kasus yang tidak dapat dikategorikan karena hubungan korban dan pelaku tidak teridentifikasi.

Dwi Ayu menjelaskan tingginya data dari Pengadilan Agama menunjukkan kecenderungan korban lebih memilih jalur perceraian ketimbang melanjutkan proses pidana.

“Proses pembuktian pidana dianggap melelahkan dan berbelit. Banyak korban memilih berpisah daripada meneruskan laporannya,” jelasnya.

Komnas Perempuan menekankan bahwa akurasi data nasional sangat bergantung pada respons lembaga layanan di seluruh provinsi. Minimnya pengiriman data dari institusi negara membuat gambaran kekerasan terhadap perempuan menjadi tidak komprehensif.

“Ini bukan soal angkanya kecil atau besar, tetapi kapasitas pendokumentasian yang masih terbatas. Jika data tidak lengkap, kebijakan tidak akan tepat sasaran,” kata Dwi Ayu.

Tim Redaksi
Editor

Bagikan :

Artikel Terkait

Baca Juga

Iklan