Sofifi – Pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (ABDESI) RI, Bidang Politik, Hukum, HAM, dan Perundang-Undangan, Iksan Iskandar Alam, menyayangkan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025 yang mengatur penyaluran Dana Desa Tahun Anggaran 2025.
Menurutnya, sejumlah ketentuan dalam PMK tersebut berpotensi menimbulkan dampak besar yang merugikan desa dan masyarakat.
Iksan menyoroti Pasal 29B ayat 1 sampai 7, yang mengatur mekanisme penundaan hingga pembatalan penyaluran Dana Desa Tahap II tahun 2025 jika desa belum memenuhi seluruh syarat pencairan sampai 17 September 2025.
“Penundaan ini mencakup dua kategori Dana Desa, yakni earmark dan non-earmark. Untuk yang earmark (anggaran yang dikunci peruntukannya oleh pemerintah pusat) antara lain mencakup bantuan langsung tunag (BLT) Desa, program penanganan stunting, serta ketahanan pangan,” jelasnya, Sabtu (29/11).
Ia menjelaskan, dana non-earmark yang biasanya digunakan untuk pembangunan maupun pemberdayaan masyarakat, juga berpotensi tertunda. Kondisi ini, menurutnya, sangat berdampak terhadap jalannya pemerintahan desa.
“Di sinilah letak dampak besar yang saya maksud. PMK 81 Tahun 2025 ini sangat merugikan desa dan masyarakat,” tegas Kepala Desa Terpadu itu.
Iksan menambahkan, terbitnya PMK 81/2025 mengejutkan dan seakan menjadi “pil pahit” bagi banyak pemerintah desa, terutama yang Dana Desa tahap keduanya belum dicairkan. Ia menyebut, sejumlah program yang sudah direncanakan, bahkan yang sedang berjalan, terancam gagal karena sumber pendanaannya menjadi tidak tersedia. Banyak desa kini harus kembali mengevaluasi APBDes yang telah disusun.
“Kami tentu mendukung program dan kebijakan pemerintah. Arahnya ke Koperasi Desa Merah Putih juga baik,” ujarnya.
Namun, ia menilai konsep padat karya tunai yang diterapkan dalam pembangunan kantor atau gerai Kopdes tanpa pemberian upah perlu dipertimbangkan ulang. “Masyarakat bekerja pasti mengharapkan upah. Pertanyaannya, apakah mereka bersedia?” katanya.
Iksan menilai kebijakan baru ini berpotensi mengurangi kewenangan desa sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 6 tentang Desa, yang menegaskan bahwa desa memiliki hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
“Dengan keluarnya PMK 81 ini, kesannya desa tidak lagi diberi kewenangan penuh seperti yang diatur dalam UU Desa. Di PMK 81 Tahun 2025 ini, banyak urusan desa justru ditarik kembali ke pusat,” sesalnya.

