Di antara gelombang yang tak henti memukul karang, di senyap subuh saat perahu-perahu kecil bertolak dari pantai, tersimpan cerita-cerita yang mulai pudar.
Cerita tentang seorang anak yang belajar membaca musim dari bayangan bulan di permukaan laut. Tentang seorang ibu yang menenun jala sambil menyanyikan pantun lama. Dan tentang pulau-pulau kecil yang dahulu menjadi nadi perdagangan, ruang doa, sekaligus sekolah kehidupan.
Itulah MAKAYOA. Sebuah gugus pulau yang bukan hanya kumpulan geografis, melainkan pulau-pulau ingatan. Ingatan tentang laut yang tidak pernah memisahkan, melainkan menyatukan.
Namun sering kali pulau-pulau itu kehilangan suara. Lautnya tetap biru, tetapi sunyi. Generasi mudanya banyak yang hijrah, perahu-perahu makin sedikit, dan kebijakan makin jauh dari pemahaman lokal. Peradaban laut yang pernah hidup kini terancam menjadi catatan kaki dalam dokumen pembangunan yang kaku.
Lalu, di mana laut dalam rencana kita?
Terlalu sering pembangunan membicarakan laut sebatas angka—bangga pada luas teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif, jumawa pada volume tangkapan dan potensi ekspor, atau mengukur panjang garis pantai yang mengular. Tetapi laut dan Gugus MAKAYOA bukan sekadar itu, ia adalah ruang hidup, ruang tumbuh, dan ruang belajar. Di sanalah sang ibu memberi makan, memberi arah, dan mengajarkan makna tentang kesabaran.
Maka saat kita bicara tentang pemekaran wilayah, tentang Daerah Otonom Baru MAKAYOA, seharusnya ini bukan sekadar agenda prosedural atau teknokratis, melainkan adalah ikhtiar meneguhkan kembali identitas maritim kita yang terlupakan.
Peradaban yang Luruh
Tak sulit menemukan paradoks di pulau-pulau ini. Kaya ikan, tapi nelayannya miskin. Air laut mengelilingi, tapi akses air bersih terbatas. Banyak kampung pesisir tapi minim dermaga. Pun jika ada dermaga, hanya sedikit kapal yang datang.
Sebab yang hilang bukan hanya anggaran. Yang menghilang adalah cara pandang. Kita memandang laut sebagai batas, bukan sebagai pusat. Kita membangun dari kota ke desa, bukan dari laut, pesisir ke darat. Kita lupa bahwa MAKAYOA dulu juga adalah bagian pusat peradaban laut Kie Raha—tempat kapal singgah, budaya bercampur, dan nilai-nilai dijaga.
Membangun dari Ingatan
Gugus Pulau MAKAYOA menyimpan kunci masa depan kita. Tapi mereka hanya akan terbuka jika kita berani membangun bukan dari amnesia, melainkan dari ingatan. Dari nilai, bukan hanya angka.
Kita membayangkan anak-anak MAKAYOA tumbuh dengan kaki menjejak pasir dan pikiran menembus cakrawala; belajar dari laut yang bijak dan tanah yang bermakna; laut yang diatur oleh suara pesisir, bukan dari garis kuasa; nelayan kecil yang tangguh dengan ekonomi biru yang adil; pulau-pulau tersambung oleh gugus harapan; dan kesehatan hadir tanpa harus menantang gelombang.
Kita Pulang ke Laut
Di tengah arus globalisasi dan industrialisasi yang menggerus jati diri, MAKAYOA memberi kita peluang untuk memulai dari laut, untuk nusantara dan dunia. Untuk memulihkan ingatan kolektif kita tentang siapa kita sebenarnya: anak-anak pulau, anak-anak pesisir, anak-anak laut.
Membangun MAKAYOA bukan sekadar tentang otonomi daerah, tetapi adalah proyek kebudayaan, jembatan konektivitas sosial dan ekonomi biru, keberpihakan politik, dan spiritualitas pembangunan.
Sebab di balik setiap gelombang, ada cerita yang menunggu diselamatkan. Di balik setiap pulau, ada ingatan yang ingin kita wariskan.
Dan jika kita tak segera bertindak, pulau-pulau itu hanya akan tinggal sebagai nama di peta. Bisu, dan terlupakan dari kebijakan negara.