Makayoa Kepulauan: Menimbang Ulang Kegagalan DOB

Bagikan :

TERPOPULER

Praktisi Hukum Soroti Tindak Premanisme Dosen...

Ternate - Tindakan kekerasan dan atau tindakan premanisme, yang diduga dilakukan oleh salah satu Dosen Institut Sains dan Kependidikan (ISDIK) Kie Raha Maluku Utara...

BACA JUGA

FKPK Gelar Aksi di Depan Ditreskrimsus Polda dan Kejati Malut

Ternate - Sejumlah massa aksi yang mengatas namakan Front Koalisi Pemberantasan Korupsi (FKPK) Provinsi Maluku Utara (Malut), menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Ditreskrimsus...

Abdullah W. Jabid Terpilih Sebagai Rektor Unkhair Ternate Periode 2025-2029

Ternate - Prof. Dr. Abdullah W. Jabid S.E., M.M, terpilih sebagai Rektor Universitas Khairun (Unkahir) Ternate pada periode 2025-2029, dengan memperoleh 53 suara. Melalui hasil...

Praktisi Hukum Soroti Tindak Premanisme Dosen ISDIK Kie Raha

Ternate - Tindakan kekerasan dan atau tindakan premanisme, yang diduga dilakukan oleh salah satu Dosen Institut Sains dan Kependidikan (ISDIK) Kie Raha Maluku Utara...

Ketua Fraksi API Beri Apresiasi Atas Keberhasilan 100 Hari Kerja Sherly-Sarbin

Ternate - Ketua Fraksi Amanah Persatuan Indonesia (API) pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Maluku Utara (Malut), Jamrud H. Wahab, memberi apresiasi atas...

Ridwan Terpilih Secara Aklamasi pada Muswil INKAI Malut

Ternate - Musyawarah Wilayah (Muswil) Institut Karate Do-Indonesia (INKAI) Provinsi Maluku Utara (Malut), memutuskan menunjuk Ir. Ridwan Ar, ST, MT, selaku Ketua INKAI Malut...

Ombudsman Maluku Utara Terima Ratusan Laporan Sepanjang Januari-Mei 2025

Ternate - Ombudsman Perwakilan Maluku Utara (Malut) menerima 170 laporan sepanjang Januari 2025 s/d Mei 2025. Ada dua kategori laporan yang di terima yaitu,...

Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri telah merilis hasil evaluasi yang mengejutkan, hanya 22 persen dari daerah otonomi baru (DOB) yang dianggap berhasil sejak kebijakan pemekaran dilaksanakan secara masif sejak era reformasi. Sisanya, 78 persen dinyatakan gagal. Evaluasi ini menjadi dasar kuat diberlakukannya moratorium pemekaran wilayah, dengan dalih efektivitas pelayanan publik belum tercapai dan beban fiskal negara semakin berat.

Namun, benarkah kegagalan DOB sepenuhnya disebabkan oleh kelemahan daerah? Atau justru karena desain kebijakan otonomi yang setengah hati, di mana sentralisasi masih menjadi watak dominan di balik wajah otonomi?

Otonomi Setengah Hati dan Indikator yang Timpang

Evaluasi Direktorat Jenderal Otonomi Daerah menyasar berbagai indikator seperti pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan, kinerja keuangan (termasuk PAD), stabilitas sosial-politik, hingga aksesibilitas wilayah. Indikator ini di atas kertas tampak objektif, tetapi menjadi bias saat digunakan tanpa mempertimbangkan disparitas struktural antara pusat dan daerah, serta konteks geografis dan historis masing-masing wilayah.

Contohnya, daerah baru di wilayah kepulauan seperti Maluku Utara atau rencana DOB Makayoa Berbasis Gugus Pulau seringkali dibandingkan dengan daerah metropolitan seperti Jawa Barat atau Jakarta. Ini seperti membandingkan perahu layar kecil dengan kapal tanker, ini jelas tak seimbang. Ketika PAD menjadi tolok ukur kemandirian fiskal, maka sudah bisa dipastikan daerah-daerah kepulauan yang minim sektor jasa akan dinilai gagal, meski mereka kaya akan sumber daya alam yang dikuasai pusat.

Siapa yang Gagal?

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sumber daya potensial seperti: tambang, perikanan, dan pariwisata laut—dikuasai pusat. Pemerintah daerah hanya memperoleh remah-remah dari kontribusi ekspor nikel, bahkan sering tidak menyentuh angka 1 persen dari total nilai ekspor. Jika pun ada pendapatan, itu berasal dari sektor kecil seperti parkir, hotel, dan restoran—yang hanya eksis di kota besar. Lantas bagaimana mungkin pemerintah pusat menuntut kemandirian fiskal dari daerah-daerah kecil tanpa memberikan hak atas sumber ekonominya?

Dalam konteks ini, tudingan kegagalan DOB menjadi tidak adil. Kegagalan bukan hanya berasal dari lemahnya kapasitas daerah, tetapi lebih karena tersanderanya daerah dalam sistem kendali pusat. Penempatan pejabat, izin usaha, bahkan pengelolaan sumber daya strategis semua masih bergantung restu pusat. Ini adalah otonomi dalam kemasan, tetapi sentralisasi dalam praktik.

Antara Pelayanan dan Keadilan Wilayah

Rencana pembentukan DOB Makayoa Berbasis Gugus Pulau misalnya, bukan semata ambisi politik lokal, tetapi karena jeritan sosial atas ketimpangan layanan di wilayah gugus pulau. Selama ini pembangunan masih bercorak kontinental—padahal Indonesia adalah negara kepulauan. Model pendekatan pembangunan yang tak sesuai ini melahirkan rasa tidak adil dan alienasi politik. Pemekaran, dalam konteks ini, menjadi cara menuntut pengakuan, pelayanan dasar, dan keadilan fiskal.

Akan tetapi jika logika evaluasi tetap terjebak dalam indikator PAD dan efektivitas birokrasi tanpa memperhitungkan konteks struktural dan sejarah ketimpangan, maka DOB akan selalu “gagal” dalam narasi pusat.

Menuju Evaluasi yang Lebih Adil

Kritik terhadap metodologi evaluasi DOB bukan sekadar soal teknis pengukuran, tetapi menyentuh substansi. Bagaimana negara mendesain relasi antara pusat dan daerah. Evaluasi perlu dilengkapi dengan pembacaan sosial-politik dan ekonomi makro, termasuk distribusi fiskal, penguasaan SDA, dan kapasitas kelembagaan pusat itu sendiri.

Seharusnya, alih-alih menyalahkan DOB, pemerintah pusat juga perlu evaluasi diri: soal kebocoran pendapatan negara, korupsi fiskal, serta belanja birokrasi yang membengkak. Di tengah klaim APBN surplus, daerah masih kesulitan menyediakan air bersih, infrastruktur dasar, dan layanan pendidikan. Bukankah ini juga bentuk kegagalan negara?

Pemekaran wilayah tidak boleh dilihat semata sebagai strategi administrasi atau perluasan wilayah kekuasaan. Ini harus dibaca sebagai ekspresi politik warga negara yang menuntut keadilan atas pelayanan, sumber daya, dan pengakuan identitas. Jika negara hanya menyodorkan angka-angka dan mengabaikan realitas ketimpangan, maka evaluasi DOB akan tetap timpang dan cenderung represif. Sudah waktunya kita meninjau ulang arsitektur otonomi daerah dengan keberpihakan pada keadilan wilayah, bukan sekadar efisiensi fiskal.

BERITA DAERAH

LIHAT SEMUA

Minim Perhatian, Ini Kondisi Salah Satu...

Labuha - Jauh dari kemewahan dan gemerlapnya suasana kota serta minim perhatian dari pemerintah, baik itu pemerintah Pusat maupun Daerah, beginilah kondisi jembatan darat...

Pemdes Guruapin Kayoa Salurkan Insentif Selama...

Halsel - Pemerintah Desa Guruapin, Kecamatan Kayoa, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel) telah menyalurkan insentif Tahap I yakni Januari hingga Juni tahun 2025. Penyaluran insentif kepada...

Persoalan APMS Kayoa Utara, Warga dan...

Labuha - Persoalan pemalangan pintu masuk Agen Penyalur Minyak dan Solar (APMS) di Desa Laromabati, Kecamatan Kayoa Utara, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), berujung damai...

SAAT INI

Abdullah W. Jabid Terpilih Sebagai Rektor Unkhair Ternate Periode...

Ternate - Prof. Dr. Abdullah W. Jabid S.E., M.M, terpilih sebagai Rektor...

BERITA UTAMA

Minim Perhatian, Ini Kondisi Salah Satu...

Labuha - Jauh dari kemewahan dan gemerlapnya suasana kota serta minim perhatian dari pemerintah, baik itu pemerintah Pusat maupun Daerah, beginilah kondisi jembatan darat...

Kunjungi PKM, Anggota Dewan Kota Ternate...

Ternate - Kunjungi Pedagang Kelapa Muda (PKM), di Kelurahan Mangga Dua, Kecamatan Ternate Selatan, Kota Ternate, tepatnya di pesisir pantai seputaran pelabuhan Semut, anggota...

Remaja 16 Tahun yang sempat Dilaporkan...

Ternate - Pencarian terhadap satu warga Kelurahan Ngade, Kecamatan Kota Ternate Selatan, yang sempat dilaporkan hilang oleh pihak keluarga saat mendaki Gunung Gamalama akhirnya...

REKOMENDASI

Mobdin Digunakan Jemput Ganja, Begini Tanggapan Praktisi Hukum

Ternate - Praktisi hukum, Agus R. Tampilang, SH. angkat bicara soal Mobil Dinas (Mobdin) milik Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Asset Daerah (Kaban BPKAD),...

ISME Wilayah XI Soroti Rencana Pemprov Malut Hentikan Aktifitas Nelayan

Ternate - Rencana Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Pemprov Malut), melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), menghentikan aktivitas nelayan di teluk Weda, Kabupaten Halmahera Tengah...

Ombudsman Maluku Utara Terima Ratusan Laporan Sepanjang Januari-Mei 2025

Ternate - Ombudsman Perwakilan Maluku Utara (Malut) menerima 170 laporan sepanjang Januari 2025 s/d Mei 2025. Ada dua kategori laporan yang di terima yaitu,...

FKPK Gelar Aksi di Depan Ditreskrimsus Polda dan Kejati Malut

Ternate - Sejumlah massa aksi yang mengatas namakan Front Koalisi Pemberantasan Korupsi (FKPK) Provinsi Maluku Utara (Malut), menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Ditreskrimsus...

Abdullah W. Jabid Terpilih Sebagai Rektor Unkhair Ternate Periode 2025-2029

Ternate - Prof. Dr. Abdullah W. Jabid S.E., M.M, terpilih sebagai Rektor Universitas Khairun (Unkahir) Ternate pada periode 2025-2029, dengan memperoleh 53 suara. Melalui hasil...

ISME Wilayah XI Soroti Rencana Pemprov...

Ternate - Rencana Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Pemprov Malut), melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), menghentikan aktivitas nelayan di teluk Weda, Kabupaten Halmahera Tengah...

Abdullah W. Jabid Terpilih Sebagai Rektor...

Ternate - Prof. Dr. Abdullah W. Jabid S.E., M.M, terpilih sebagai Rektor Universitas Khairun (Unkahir) Ternate pada periode 2025-2029, dengan memperoleh 53 suara. Melalui hasil...

Ridwan Terpilih Secara Aklamasi pada Muswil...

Ternate - Musyawarah Wilayah (Muswil) Institut Karate Do-Indonesia (INKAI) Provinsi Maluku Utara (Malut), memutuskan menunjuk Ir. Ridwan Ar, ST, MT, selaku Ketua INKAI Malut...

Minim Perhatian, Ini Kondisi Salah Satu...

Labuha - Jauh dari kemewahan dan gemerlapnya suasana kota serta minim perhatian dari pemerintah, baik itu pemerintah Pusat maupun Daerah, beginilah kondisi jembatan darat...

IKLAN

Makayoa Kepulauan: Menimbang Ulang Kegagalan DOB

Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri telah merilis hasil evaluasi yang mengejutkan, hanya 22 persen dari daerah otonomi baru (DOB) yang dianggap berhasil sejak kebijakan pemekaran dilaksanakan secara masif sejak era reformasi. Sisanya, 78 persen dinyatakan gagal. Evaluasi ini menjadi dasar kuat diberlakukannya moratorium pemekaran wilayah, dengan dalih efektivitas pelayanan publik belum tercapai dan beban fiskal negara semakin berat.

Namun, benarkah kegagalan DOB sepenuhnya disebabkan oleh kelemahan daerah? Atau justru karena desain kebijakan otonomi yang setengah hati, di mana sentralisasi masih menjadi watak dominan di balik wajah otonomi?

Otonomi Setengah Hati dan Indikator yang Timpang

Evaluasi Direktorat Jenderal Otonomi Daerah menyasar berbagai indikator seperti pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan, kinerja keuangan (termasuk PAD), stabilitas sosial-politik, hingga aksesibilitas wilayah. Indikator ini di atas kertas tampak objektif, tetapi menjadi bias saat digunakan tanpa mempertimbangkan disparitas struktural antara pusat dan daerah, serta konteks geografis dan historis masing-masing wilayah.

Contohnya, daerah baru di wilayah kepulauan seperti Maluku Utara atau rencana DOB Makayoa Berbasis Gugus Pulau seringkali dibandingkan dengan daerah metropolitan seperti Jawa Barat atau Jakarta. Ini seperti membandingkan perahu layar kecil dengan kapal tanker, ini jelas tak seimbang. Ketika PAD menjadi tolok ukur kemandirian fiskal, maka sudah bisa dipastikan daerah-daerah kepulauan yang minim sektor jasa akan dinilai gagal, meski mereka kaya akan sumber daya alam yang dikuasai pusat.

Siapa yang Gagal?

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sumber daya potensial seperti: tambang, perikanan, dan pariwisata laut—dikuasai pusat. Pemerintah daerah hanya memperoleh remah-remah dari kontribusi ekspor nikel, bahkan sering tidak menyentuh angka 1 persen dari total nilai ekspor. Jika pun ada pendapatan, itu berasal dari sektor kecil seperti parkir, hotel, dan restoran—yang hanya eksis di kota besar. Lantas bagaimana mungkin pemerintah pusat menuntut kemandirian fiskal dari daerah-daerah kecil tanpa memberikan hak atas sumber ekonominya?

Dalam konteks ini, tudingan kegagalan DOB menjadi tidak adil. Kegagalan bukan hanya berasal dari lemahnya kapasitas daerah, tetapi lebih karena tersanderanya daerah dalam sistem kendali pusat. Penempatan pejabat, izin usaha, bahkan pengelolaan sumber daya strategis semua masih bergantung restu pusat. Ini adalah otonomi dalam kemasan, tetapi sentralisasi dalam praktik.

Antara Pelayanan dan Keadilan Wilayah

Rencana pembentukan DOB Makayoa Berbasis Gugus Pulau misalnya, bukan semata ambisi politik lokal, tetapi karena jeritan sosial atas ketimpangan layanan di wilayah gugus pulau. Selama ini pembangunan masih bercorak kontinental—padahal Indonesia adalah negara kepulauan. Model pendekatan pembangunan yang tak sesuai ini melahirkan rasa tidak adil dan alienasi politik. Pemekaran, dalam konteks ini, menjadi cara menuntut pengakuan, pelayanan dasar, dan keadilan fiskal.

Akan tetapi jika logika evaluasi tetap terjebak dalam indikator PAD dan efektivitas birokrasi tanpa memperhitungkan konteks struktural dan sejarah ketimpangan, maka DOB akan selalu “gagal” dalam narasi pusat.

Menuju Evaluasi yang Lebih Adil

Kritik terhadap metodologi evaluasi DOB bukan sekadar soal teknis pengukuran, tetapi menyentuh substansi. Bagaimana negara mendesain relasi antara pusat dan daerah. Evaluasi perlu dilengkapi dengan pembacaan sosial-politik dan ekonomi makro, termasuk distribusi fiskal, penguasaan SDA, dan kapasitas kelembagaan pusat itu sendiri.

Seharusnya, alih-alih menyalahkan DOB, pemerintah pusat juga perlu evaluasi diri: soal kebocoran pendapatan negara, korupsi fiskal, serta belanja birokrasi yang membengkak. Di tengah klaim APBN surplus, daerah masih kesulitan menyediakan air bersih, infrastruktur dasar, dan layanan pendidikan. Bukankah ini juga bentuk kegagalan negara?

Pemekaran wilayah tidak boleh dilihat semata sebagai strategi administrasi atau perluasan wilayah kekuasaan. Ini harus dibaca sebagai ekspresi politik warga negara yang menuntut keadilan atas pelayanan, sumber daya, dan pengakuan identitas. Jika negara hanya menyodorkan angka-angka dan mengabaikan realitas ketimpangan, maka evaluasi DOB akan tetap timpang dan cenderung represif. Sudah waktunya kita meninjau ulang arsitektur otonomi daerah dengan keberpihakan pada keadilan wilayah, bukan sekadar efisiensi fiskal.

Bagikan :

Artikel Terkait

Baca Juga

Mobdin Digunakan Jemput Ganja, Begini Tanggapan...

Ternate - Praktisi hukum, Agus R. Tampilang, SH. angkat bicara soal Mobil Dinas (Mobdin) milik Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Asset Daerah (Kaban BPKAD),...

Abdullah W. Jabid Terpilih Sebagai Rektor...

Ternate - Prof. Dr. Abdullah W. Jabid S.E., M.M, terpilih sebagai Rektor Universitas Khairun (Unkahir) Ternate pada periode 2025-2029, dengan memperoleh 53 suara. Melalui hasil...

Ombudsman Maluku Utara Terima Ratusan Laporan...

Ternate - Ombudsman Perwakilan Maluku Utara (Malut) menerima 170 laporan sepanjang Januari 2025 s/d Mei 2025. Ada dua kategori laporan yang di terima yaitu,...

Praktisi Hukum Soroti Tindak Premanisme Dosen...

Ternate - Tindakan kekerasan dan atau tindakan premanisme, yang diduga dilakukan oleh salah satu Dosen Institut Sains dan Kependidikan (ISDIK) Kie Raha Maluku Utara...

Iklan

error: Content is protected !!