Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri telah merilis hasil evaluasi yang mengejutkan, hanya 22 persen dari daerah otonomi baru (DOB) yang dianggap berhasil sejak kebijakan pemekaran dilaksanakan secara masif sejak era reformasi. Sisanya, 78 persen dinyatakan gagal. Evaluasi ini menjadi dasar kuat diberlakukannya moratorium pemekaran wilayah, dengan dalih efektivitas pelayanan publik belum tercapai dan beban fiskal negara semakin berat.
Namun, benarkah kegagalan DOB sepenuhnya disebabkan oleh kelemahan daerah? Atau justru karena desain kebijakan otonomi yang setengah hati, di mana sentralisasi masih menjadi watak dominan di balik wajah otonomi?
Otonomi Setengah Hati dan Indikator yang Timpang
Evaluasi Direktorat Jenderal Otonomi Daerah menyasar berbagai indikator seperti pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan, kinerja keuangan (termasuk PAD), stabilitas sosial-politik, hingga aksesibilitas wilayah. Indikator ini di atas kertas tampak objektif, tetapi menjadi bias saat digunakan tanpa mempertimbangkan disparitas struktural antara pusat dan daerah, serta konteks geografis dan historis masing-masing wilayah.
Contohnya, daerah baru di wilayah kepulauan seperti Maluku Utara atau rencana DOB Makayoa Berbasis Gugus Pulau seringkali dibandingkan dengan daerah metropolitan seperti Jawa Barat atau Jakarta. Ini seperti membandingkan perahu layar kecil dengan kapal tanker, ini jelas tak seimbang. Ketika PAD menjadi tolok ukur kemandirian fiskal, maka sudah bisa dipastikan daerah-daerah kepulauan yang minim sektor jasa akan dinilai gagal, meski mereka kaya akan sumber daya alam yang dikuasai pusat.
Siapa yang Gagal?
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sumber daya potensial seperti: tambang, perikanan, dan pariwisata laut—dikuasai pusat. Pemerintah daerah hanya memperoleh remah-remah dari kontribusi ekspor nikel, bahkan sering tidak menyentuh angka 1 persen dari total nilai ekspor. Jika pun ada pendapatan, itu berasal dari sektor kecil seperti parkir, hotel, dan restoran—yang hanya eksis di kota besar. Lantas bagaimana mungkin pemerintah pusat menuntut kemandirian fiskal dari daerah-daerah kecil tanpa memberikan hak atas sumber ekonominya?
Dalam konteks ini, tudingan kegagalan DOB menjadi tidak adil. Kegagalan bukan hanya berasal dari lemahnya kapasitas daerah, tetapi lebih karena tersanderanya daerah dalam sistem kendali pusat. Penempatan pejabat, izin usaha, bahkan pengelolaan sumber daya strategis semua masih bergantung restu pusat. Ini adalah otonomi dalam kemasan, tetapi sentralisasi dalam praktik.
Antara Pelayanan dan Keadilan Wilayah
Rencana pembentukan DOB Makayoa Berbasis Gugus Pulau misalnya, bukan semata ambisi politik lokal, tetapi karena jeritan sosial atas ketimpangan layanan di wilayah gugus pulau. Selama ini pembangunan masih bercorak kontinental—padahal Indonesia adalah negara kepulauan. Model pendekatan pembangunan yang tak sesuai ini melahirkan rasa tidak adil dan alienasi politik. Pemekaran, dalam konteks ini, menjadi cara menuntut pengakuan, pelayanan dasar, dan keadilan fiskal.
Akan tetapi jika logika evaluasi tetap terjebak dalam indikator PAD dan efektivitas birokrasi tanpa memperhitungkan konteks struktural dan sejarah ketimpangan, maka DOB akan selalu “gagal” dalam narasi pusat.
Menuju Evaluasi yang Lebih Adil
Kritik terhadap metodologi evaluasi DOB bukan sekadar soal teknis pengukuran, tetapi menyentuh substansi. Bagaimana negara mendesain relasi antara pusat dan daerah. Evaluasi perlu dilengkapi dengan pembacaan sosial-politik dan ekonomi makro, termasuk distribusi fiskal, penguasaan SDA, dan kapasitas kelembagaan pusat itu sendiri.
Seharusnya, alih-alih menyalahkan DOB, pemerintah pusat juga perlu evaluasi diri: soal kebocoran pendapatan negara, korupsi fiskal, serta belanja birokrasi yang membengkak. Di tengah klaim APBN surplus, daerah masih kesulitan menyediakan air bersih, infrastruktur dasar, dan layanan pendidikan. Bukankah ini juga bentuk kegagalan negara?
Pemekaran wilayah tidak boleh dilihat semata sebagai strategi administrasi atau perluasan wilayah kekuasaan. Ini harus dibaca sebagai ekspresi politik warga negara yang menuntut keadilan atas pelayanan, sumber daya, dan pengakuan identitas. Jika negara hanya menyodorkan angka-angka dan mengabaikan realitas ketimpangan, maka evaluasi DOB akan tetap timpang dan cenderung represif. Sudah waktunya kita meninjau ulang arsitektur otonomi daerah dengan keberpihakan pada keadilan wilayah, bukan sekadar efisiensi fiskal.